Photobucket - Video and Image Hosting catatan kecil birunya langit: Rasa sakit itu...................

Wednesday, February 21, 2007

Rasa sakit itu...................

Rasanya tak ada yang berubah dari penampilan Ibu.Ibu masih saja memiliki tubuh yang kukuh dan sorot mata yang berenergi meskipun telah memasuki usia 64 tahun.Seperti pagi itu ketika aku menjemput Ibu di pemberhentian bis antar kota,tak sedikitpun kelelahan terlihat di wajahnya,meskipun Ibu baru saja menempuh 12 jam perjalanan darat dari Yogyakarta ke Tangerang.

“Sugeng,Bu”,begitu sapaku seraya menjabat tangannya.

“Piye kabarmu,Le…?”,Ibu masih saja menyapaku dengan sebutan Le,meskipun umurku sudah setua ini.”Ningsih dan Nuning juga sehat kan?”,Ibu menanyakan kedua adikku yang memang tinggal bersamaku.

Ketika aku mencium mencium tangannya,tangannya masih terlihat kukuh seolah tak berbeda dengan tangan yang selalu memelukku di masa kanak-kanak dulu.Tangan yang selalu membuat kami akan merasa nyaman berada di dekatnya.Entah sejak kapan mulainya,yang jelas semenjak ayah tidak lagi tinggal bersama kami,kami berlima selalu tidur bersama di sebuah dipan besar.Ibu akan selalu tidur di tengah.Aku dan Mas Herman,kakak sulungku tidur di sisi luar,sementara Ningsih dan Nuning,kedua adikku berada persis di damping Ibu.Kebiasaan Ibu yang akan selalu kami ingat adalah ketika tidur tangan Ibu selalu membentang bak sebuah sayap menggapai tubuhku dan tubuh Mas Herman yang berada di sisi luar.Sehingga kami berempat selalu tidur sembari menggenggam tangan Ibu.

Ibu adalah seorang pekerja keras.Sebuah kebun kelapa dan sawah warisan dari kakek dan nenek dikelolanya dengan baik.Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,Ibu membuka sebuah toko kelontong.Toko yang cukup ramai karena persis di persimpangan jalan tempat orang kampung berlalu lalang.

Tak jelas benar mengapa ayah tak lagi tinggal bersama kami.Waktu itu otak kecilku belum mampu mencerna apa yang terjadi di tengah keluarga kami.Pernah aku mencoba bertanya kepada Ibuku.

“Bu,mengapa ayah tak lagi tinggal bersama kita?”.

Ibu menghela nafas panjang dan menjawab tanpa ekspresi,”Tidak usah kau pikirkan mengapa ayahmu tidak tinggal lagi bersama kita.Tanpa ayahmu pun suasana rumah kita tetap semarak”.

Dan biasanya aku tak berani lagi bertanya lebih lanjut.Namun dari beberapa orang tetangga aku pernah mendengar sebuah cerita bahwa Ayahku tergoda dengan gadis dari desa sebelah dan pergi ke pulau seberang.Aku juga tidak mengetahui apa artinya tergoda,rasanya tidak ada wanita lain yang kecantikannya melebihi Ibuku.

Dalam keseharian tak ada waktu bagi Ibu untuk bersantai-santai.Setelah menyiapkan sarapan untuk kami ,Ibu akan membuka toko.Di saat-saat tertentu sepulang dari sekolah biasanya kamilah yang bergantian menjaga toko tersebut.Baru pada saat itulah Ibu punya kesempatan untuk melihat keadaan kebun dan sawah,kapan sawah mesti dipupuk dan kapan hasil kebun mesti dipanen.Sore hari sehabis mengaji di surau,Ibu akan mengawasi kami untuk belajar.Harus selalu ada waktu untuk belajar,meski hanya 1 jam kami mesti menyempatkan diri untuk mengulang pelajaran di sekolah.Ibu akan marah besar bila kami melewatkan waktu belajar tersebut.Terkadang kami iri bila menyaksikan teman-teman lain bisa bebas bermain tanpa mempunyai kewajiban untuk belajar.Sesekali waktu kami mencuri kesempatan untuk sekedar bisa bermain-main.Dan sebuah tepukan di pantat sebagai sebuah bentuk hukuman atas kenakalan kami telah cukup membuat kami untuk menangis.

Namun kekakuan Ibu dalam mendidik kami berbuah.Setidaknya kami menyelesaikan sekolah tepat pada waktunya.Meskipun cuma sampai D3,namun itu sudah cukup untuk mendapatkan pekerjaan.Sayangnya kami gagal mendapatkan pekerjaan di Yogya.Bermula dari Mas Herman diterima di sebuah perusahaan di Tangerang,maka kami satu persatu menyusul ke Tangerang.Ketika Nuning,adik paling bontot,lulus sekolah,aku berusaha menahannya agar tidak ikut-ikutan mencari pekerjaan di Tangerang dan tetap tinggal di rumah untuk menemami Ibu.Namun,justru Ibulah yang mendorong Nuning untuk mengikuti jejak kakak-kakaknya.Ibu tidak mau hanya karena berkemauan menjaga orang tuanya,Nuning gagal mencari pekerjaan.

“Masmu Herman tidak ikut menjemput,Le?”,tanya Ibu mengagetkan aku dari lamunan.Aku berpura – pura tidak mendengar pertanyaan Ibu dan mencoba mengalihkan perhatian Ibu sembari merapikan barang-barang bawaannya.Menjawab pertanyaan Ibu sama saja membuka perbincangan yang panjang tentang kakak sulungku.Sebenarnya itulah alasan utama mengapa Ibu memaksakan diri datang ke Tangerang.

“Apa tidak terpikir di pikiran Herman rasa iba terhadap anak-anaknya?”,kata Ibu setengah menggumam seperti tidak meminta jawaban.

Tiba-tiba HP ku bergetar.Di layar tertera tulisan rumah.”Sudah ketemu Ibu,Mas?”,suara istriku di seberang.

“Sudah,ini sedang membenahi barang bawaan Ibu”.

“Siapa,Le”,tanya Ibu.

“Nunik,Bu?”,jawabku sembari memberikan HP ku ke Ibu untuk memberi kesempatan istriku memberi salam kepada Ibuku.

“Nik”,kata Ibuku setelah saling menanyakan kabar dengan istriku.”Ibu langsung ke rumah Masmu Herman.Ibu ingin sekali bertemu Herman”.

Nampaknya istriku berusaha mengarahkan Ibu agar mampir ke rumahku dulu.Demikian juga keinginanku.Aku ingin agar Ibu dalam usianya yang sudah sepuh ini tidak terbebani dengan masalah keluarga Mas Herman.Sudah cukup rasanya Ibu mengawal pertumbuhan kami selama ini.

Istriku masih saja berusaha mendebat Ibu.dari pembicaraan yang ada,nampaknya setelah istriku gagal membujuk Ibu,gantian Nuning yang berbicara dengan Ibu.Ibu tetap bersikeras untuk langsung menuju rumah mas Herman.Melihat kekerasan kemauan Ibu,aku tidak berusaha untuk membujuknya.

Perlahan aku memacu sepeda motorku mengarah ke rumah Mas Herman.Sesekali Ibu masih berbincang mengenai Mas Herman.Namun suara Ibu yang tertelan keriuhan lalu lintas membuat aku hanya bisa sesekali mengangguk dan menggelang.

Mas Herman,demikian nama kakak sulungku,adalah kebanggaan kami.Setelah bekerja,Mas Herman banyak membantu biaya keluarga kami.Setelah berumah tangga dan seiring kelahiran kedua anaknya,keuangannya makin lama semakin membaik.Namun seiring membaiknya keuangan rumah tangganya,justru masalah-masalah kecil mulai timbul.Mulai bantuan keuangan kepada keluarga dipermasalahkan oleh istrinya.Sampai kebiasaan istrinya yang gemar membelanjakan uang secara berlebihan.Mas Herman pernah bercerita kepadaku,bahwa sebagai suami dia tidak ingin menyembunyikan penghasilannya.Berapapun uang yang dia dapatkan selalu diberikan kepada istrinya.Namun mulai saat itulah istrinya mulai bertindak otoriter.Anggaran untuk keperluan Mas Herman mulai diperketat.Akhirnya mulai dari situlah sering timbul percekcokan kecil.

Sampai kemudian terdengar kabar Mas Herman memiliki wanita idaman lain dan ingin melakukan poligami.Tidak jelas siapa wanita itu dan dimana dia tinggal.Yang jelas masalah itu menjadi puncak dari hiruk pikuk dan keruwetan rumah tangga.Sebentar-sebentar telepon di rumah berdering berasal dari Mbak Yati,istri Mas Herman,yang mengadukan permasalahan rumah tangganya kepadaku.Sebenarnya aku sudah berusaha menengahinya,namun Mas Herman justru berharap aku memaklumi tindakannya,toh agama memperbolehkan berpoligami.Kalau kemudian Ibu mendengar masalah ini dan akhirnya berusaha turun tangan,mungkin Nuning atau Ningsih yang memberitahukannya.

Sesampainya di rumah Mas Herman suasana nampak sepi,mungkin anak-anak sudah berangkat ke sekolah.Nampak Mas Herman dan Mbak Yati tergopoh-gopoh menyambut kedatangan Ibu.

“Wis..wis,Ibu ingin segeran duduk,”kata Ibu ketika Mbak Yati masih berbasa-basi menanyakan kabar di Yogya.Mas Herman dan Mbak Yati mengiringi Ibu masuk ke dalam rumah.Sementara aku menurunkan barang bawaan Ibu dari sepeda motor.

Belum juga lima menit Ibu duduk,Ibu mulai berbicara dengan nada-nada tegas mengenai permasalahan mas Herman.Bahkan teh hangat yang disajikan Mbak Yati tidak sekalipun disentuh Ibu.Keduanya hanya bisa terdiam.Sesekali Mbak yati menimpali perkataan Ibu karena merasa ada pembelaan terhadapnya.Namun justru Ibu mulai memberikan petuah-petuah kepadanya.Petuah bagaimana menjadi istri yang baik dan bisa menentramkan suami.Aku memilih duduk agak menjauhi sembari menikmati rokok kretek kegemaranku.Toh,tak banyak gunanya aku duduk dekat untuk berbincang.

“Man,kamu sudah besar sewaktu ayah pergi meninggalkan kita,”suara Ibu terdengar mulai lirih.

”Kamu mungkin sudah tahu,ayahmu memilih meninggalkan kita semua demi seorang gadis dari desa sebelah,”suara Ibu mulai tersendat.Ibu nampak berusaha menahan perasaannya.

“Man,jangan kamu kira Ibu tidak merasakan sakit yang luar biasa atas tindakan ayahmu itu.Ibu merasakan sakit yang amat sangat”,mata Ibu mulai nampak menggenang.

“Namun rasa sakit itulah yang membuat Ibu bertahan.Rasa sakit itulah yang membuat ibu terpacu semangatnya untuk bekerja keras.Rasa sakit itulah yang membuat itu ingin membuktikan bahwa tanpa ayahmu pun Ibu bisa membesarkan kamu”,Ibu mulai tersedu lirih seiring air mata yang mulai mengalir dari sudut matanya.

“Ketika Ibu sudah bisa melupakan semuanya seiring kalian yang sudah tumbuh dewasa,ketika Ibu sudah mulai bangga kepada kalian,kamu malah membangkitkan kembali luka Ibu”,Ibu berusaha menghapus air matanya dengan lengannya.

Suasana nampak kikuk dan hening.Mas Herman dan Mbak Yati tak kuasa mengangkat mukanya.Tak terasa mataku mulai memanas dan mulai basah. Buru-buru aku beranjak ke teras,kutahan agar air mata mata itu tak menitik.Setelah sekian lamanya,baru kali inilah aku melihat Ibu menangis.Di ruang tamu nampak Mas Herman sungkem kepada Ibu dan memohon maaf.Aku melangkahi gontai,hidup memang bukan kita yang menyusun kisahnya.