Photobucket - Video and Image Hosting catatan kecil birunya langit: Nu sejen mah can puguh...............

Monday, November 13, 2006

Nu sejen mah can puguh...............

“Dimana bumi dipijak,disitu langit dijunjung”,demikianlah bunyi sebuah peribahasa.Peribahasa tersebut kira-kira diartikan bahwa keanekaragaman budaya dengan segala adat istiadat nya harus dihargai,dengan demikian dimanapun kita berada mestinya kita bisa memahami dan menghormati budaya dan adat istiadat tempat dimana kita berada.

Atas dasar itu pulalah,ketika saya tinggal di Tangerang,saya pun sedikit banyak berusaha memahami budaya dan adat istiadat masyarakat tempat tinggal saya,meskipun itu hanya sebatas pemahaman bahasa daerah .Setidaknya kalau hanya sekedar pengucapan bahasa keseharian,saya pun mengerti,walaupun kebanyakan memakai kata “aing” atau “sia”,sebuah pengucapan yang kasar menurut komunitas Sunda di Bandung sana.

Namun,tetap saja saya mengernyitkan dahi,ketika membaca sebuah spanduk kampanye seorang calon gubernur Banten.Tulisan itu nampak membingungkan tanpa peletakan tanda koma sebagai jeda.Bahkan pada awalnya saya tidak menduga kalau tulisan di spanduk itu adalah bahasa Sunda.Spanduk itu bertuliskan “Nu sejen mah can puguh”. Dibuat dalam 2 warna,pada bagian atas berwarna kuning,sedangkan pada bagian bawah berwarna merah.Tentu saja kedua warna tersebut merujuk kepada partai pendukung calon gubernur dan wakil gubernur Banten tersebut.

Kesulitan dalam mengartikan sebuah kata-kata dalam bahasa Sunda tidak hanya milik mereka yang tidak mampu menerjemahkan kalimat dalam sebuah spanduk.Kebingungan lebih dominan dimiliki oleh para orang tua murid yang kebetulan berasal dari luar daerah yang memang tidak pernah bersentuhan dengan bahasa Sunda.Sudah menjadi kebijaksanaan bahwa Bahasa Sunda dijadikan mata pelajaran di sekolahan sebagai bentuk dari muatan lokal.Maka menjadi pemandangan umum,ketika anaknya mendapatkan pekerjaan rumah bahasa Sunda,para orang tua muridlah yang menjadi sibuk.Saling menelepon ke sana kemari,sekedar mencari kamus berjalan yang mengerti bahasa Sunda.Yang menggelikan adalah persepsi yang berbeda tentang sebuah kata.Sehingga meski sudah bertanya kesana kemari,tetap saja jawabannya salah.Saya ingat,sepupu saya hanya bisa tersenyum kecut melihat angka 5 bertengger di raport anaknya.

Pada waktu duduk di SD dan SMP,saya juga mendapatkan pelajaran bahasa daerah.Namun kondisinya berbeda.Masyarakat dimana saya tinggal dahulu adalah masyarakat yang homogen,sehingga pemberian bahasa daerah bukan menjadikan sebuah kesulitan.Setidaknya kalau sekedar membaca buku paket pelajaran bahasa daerah,mereka bisa memahami.Lain kondisinya dengan keadaan di Tangerang,masyarakat yang sudah sedemikian heterogen dimana kebanyakan adalah masyarakat pendatang dari luar daerah,membuat pelajaran bahasa Sunda menjadi pelajaran yang susah dipahami.Menyediakan waktu untuk belajar di rumah pun seakan menjadi sia-sia..Setidaknya kalau mempelajari bahasa Inggris,kita bisa membuka kamus apabila ada kata-kata yang tidak dimengerti.Saya sendiri tidak tahu apakah ada kamus bahasa Sunda – Indonesia.

Maka dapatlah dimengerti,keheranan beberapa teman tentang pemasangan spanduk berbahasa Sunda tadi.Spanduk tentu diharapkan bisa menjadi sarana mengkomunikasikan,memperkenalkan diri dan syukur-syukur menarik orang agar memilih pasangan tersebut.Apa gunanya kalau memasang spanduk yang tidak bisa dimengerti.Maka seperti kata teman saya yang kebetulan juga tidak mengerti bahasa Sunda,karena “teu puguh” maka nantinya pada waktu pilkada teman saya memilih untuk “teu milih”.Ketika saya tanya,apakah nanti tanggal 26 November 2006 akan datang ke TPS untuk melakukan pencoblosan,teman saya menjawab,”Moal……”.Wah,makin pintar saja teman saya berbahasa Sunda,atau jangan-jangan itu bukan kosa kata Sunda.