Photobucket - Video and Image Hosting catatan kecil birunya langit: Dimana kos menjadi bebas...........

Monday, October 30, 2006

Dimana kos menjadi bebas...........

Pulang kembali ke Yogya adalah menelusuri kembali jejak – jejak lama.Ada keriangan yang tak pernah kering yang membias di benak.Bukan hanya sepercik harum seperti kata Katon,tapi berupa hempasan rindu yang menghadirkan pendar-pendar bahagia.

Bertemu dengan teman lama,berkumpul kembali dan melangsungkan obrolan yang tidak putus-putusnya seolah waktu tidak pernah merangkak sedemikian jauh.Dan lukisan masa lalu kembali digelar dalam canda tawa bersama.

Satu persatu saya sambangi tempat favorit tempo dulu.Tempat yang semuanya berlabel murah meriah sesuai dengan ukuran kantong mahasiswa.Ada beberapa tempat yang selalu saya kunjungi bersama rekan-rekan untuk sekedar melepas kejenuhan.Bioskop Widya di Alun alun Utara yang selalu menyajikan film-film berkualitas meskipun bukan pada pemutaran perdana.Warung bakso Cak Mahmud di Jalan Gajah Mada,Warung gado-gado Lempuyangan atau Warung bakmi Mbah Mo.

Ada satu tempat yang sebenarnya saya ingin juga mengunjungi,sebuah kos-kosan yang biasa kami pakai sebagai tempat kumpul.Sebenarnya seorang temanlah yang tinggal di kos tersebut.Hanya saja saya bersama sejumlah rekan terbiasa berlama-lama nongkrong di tempat ini.Tidak seperti tempat kos lainnya yang dibuat terpisah dengan sang pemilik,tempat kos satu ini menjadi satu dengan pemilik rumah.Sang pemilik rumah menggunakan lantai pertama untuk tinggal bersama keluarganya dan membuka toko kelontong,sedangkan lantai atas ada 4 kamar yang disewakan.Sebuah tempat kos yang sangat nyaman untuk ukuran waktu itu.Kamar yang luas dengan ranjang ukuran besar sehingga memungkinkan satu kamar dipakai 2 orang sekalipun.Tentu saja hal tersebut dibarengi dengan harga yang sedikit lebih mahal dibanding kos-kosan tempat lain.Karena berada satu tempat dengan sang pemilik rumah,maka kos ini memperlakukan jam malam.Sudah menjadi kebiasaan apabila kami keluar malam,maka dapat dipastikan teman saya tidak bisa masuk ke tempat kos tersebut,maka tempat sayalah yang menjadi penampungan sementara bagi teman yang terkena jam malam.

Semalam secara tak sengaja saya melewati tempat tersebut.Membeli rokok adalah alasan utama saya untuk mampir.Tak banyak perubahan di tempat itu,baik dari bentuk bangunan maupun barang-barang yang dijual.Bahkan gempa bumi yang belum lama berlangsung pun tak membuat retak sedikitpun bangunan tersebut.Malam sudah sedemikian larut.Jalanan mulai lengang hanya menyisakan satu dua pengendara sepeda motor yang lewat.Dan bapak pemilik kos itu nampak terkantuk-kantuk di pojokan ruangan menunggu pembeli.Agak lama saya memanggil bapak itu,kantuk yang menyerang atau mungkin usia yang sudah menua membuat bapak tersebut tak kunjung menyahuti panggilan saya.

Ketika bapak tersebut menghampiri saya,nampak sekali bapak itu tidak lagi mengenali saya.Langkahnya masih gagah bahkan nampak makin gaya dengan rambut dibiarkan sedikit memanjang.
“Cari apa,Mas?”,tanya bapak itu.
“Minta sebungkus star mild,pak”.
Setelah membeli rokok,saya sedikit berbasa basi dan mengenalkan diri.Rupanya bapak itu mulai mengenali saya.Akhirnya terjadilah obrolan yang sangat panjang.
“Sekarang kos-kosan ini nggak laku,Mas”,kata bapak itu.
“Lho,bukannya tempatnya bagus,pak”.
“Masalahnya banyak penghuni kos yang memilih tempat kos yang bebas segalanya,sementara saya tidak mungkin untuk membiarkan tempat kos ini menjadi tempat kos yang bebas”.

Saya mengangguk-angguk,dari dulu teman saya juga tidak menyukai tinggal di tempat tersebut.Namun berhubung orang tua teman saya mengkhawatirkan perkembangan pendidikan anaknya dan takut terjebak dalam pergaulan yang menyesatkan,maka orang tua teman tadi memang sengaja menitipkan anaknya kepada pemilik kos tersebut.Belum tentu efektif memang,terbukti teman saya masih suka kabur-kaburan sampai malam,sekalipun itu hanya sekedar kelayapan di malam minggu.Maka kalau Iip Wijayanto mengklaim bahwa 97% mahasiswi di Yogya sudah tidak perawan lagi,mungkin hal tersebut dimulai dari tempat kos yang bebas itu.Akhirnya menjadi sebuah dilema membuat kos-kosan bebas yang laku atau membuat kos-kosan dengan peraturan ketat tapi dengan resiko tidak laku.Pilihan pertamalah yang banyak ditempuh,meski dengan resiko menjadi ajang penyalahgunaan sex,toh bisnis harus jalan.Dan ketika bisnis menjadi prioritas maka pertimbangan moralitas biasanya akan dikesampingkan.Ataukah ada pilihan lain?.