Photobucket - Video and Image Hosting catatan kecil birunya langit: January 2007

Tuesday, January 23, 2007

Malas...................

Pernahkah anda merasakan saat yang luar biasa malasnya?.Ketika anda terbangun di pagi hari,rasa lemas menggelayuti seluruh badan.Udara dingin perlahan menusuk-nusuk tulang.Pada saat demikian pilihan yang paling enak adalah membiarkan badan tetap terbaring di kasur sembari melayangkan pikiran entah kemana.Tuhan memberikan rasa malas yang luar biasa nikmatnya.Tidak tentu berapa jam kita akan terpuaskan untuk tetap membaringkan badan demi memenuhi rasa malas itu,karena rasa malas itu biasanya tidak akan datang di hari libur.Justru rasa malas itu rajin mengunjungi kita di hari kerja.Rutinitas kerja yang terasa membosankan semakin memperkuat rasa malas itu.Kita menghadapi pilihan sulit,antara memuaskan rasa malas yang menggerogoti badan kita atau segera memaksakan diri untuk bangun dan segera berangkat ke tempat kerja.

Demikian juga yang terjadi pada saya pagi ini.Ketika pagi membangunkan kesadaran saya dari tidur malam yang nyenyak,di luaran hujan turun dengan deras.Dingin yang menyergap membuat saya menarik selimut rapat-rapat sembari memeluk guling erat-erat.Inilah saat-saat paling menyiksa.Rasa malas yang menggerogoti badan semakin lengkap dengan libido yang tiba-tiba meninggi di tengah dingin pagi menyergap.”Ah……saya masih normal”,batin saya dalam hati.Sejenak terpikir untuk menyeduh kopi hangat agar sedikit ternetralisir libido yang tak kenal kompromi ini.Namun, rasa malas seolah menginterupsi syaraf saya agar tidak segera menggerakkan badan dan membiarkan badan saya meringkuk menikmati kemalasan ini.

Sampai jam dinding berdentang 7 kali,saya masih saja meringkuk di kamar.Bimbang untuk memutuskan,apakah saya mesti bolos atau masuk kantor?.Teringat materi pekerjaan kantor yang belum saya edit,memaksa saya segera bangun.Seperti biasa doping harian di pagi hari adalah secangkir kopi dan sebatang rokok sembari menikmati berita pagi di televisi.Di luaran hujan masih saja tak bosan meneteskan rintik-rintik air.Setelah mandi seadanya saya pun berangkat.

Entah kenapa,ketika kemalasan sedang melanda,suasana jalanan pun seperti tidak mendukung kita untuk melakukan aktivitas.Banyaknya pengendara sepeda motor yang meneduh di bawah jembatan penyeberangan membuat kemacetan luar biasa.Sedikit-demi sedikit kesabaran saya mulai terkikis.Di tengah hujan yang tak kunjung berhenti saya mesti berjibaku memacu kendaraan sela-sela barisan antrian mobil.Umpatan-umpatan kecil mau tak mau keluar juga dari mulut ketika ada kendaraan yang tidak sabar ingin mendahului dengan meninggalkan percikan air yang membasahi sepatu saya.

Perasaan lega melingkupi hati,ketika berhasil lolos dari kemacetan itu.Ketika sedang asyik-asyiknya memacu kendaraan tiba-tiba ada serombongan pemuda menutup jalan dengan melambai-lambaikan bendera kuning sebagai tanda minta diberi jalan.Para pemuda tersebut memberi perintah dengan nada berteriak dan menampakkan wajah galak.Beberapa kendaraan yang mencoba menerobos pagar betis,dipukulnya dengan galah bambu.Nampak arak-arakan panjang iringan pembawa jenazah.Dan segera saja kemacetan tumbuh di sekitar tempat blokade pembawa bendera kuning tersebut.Untuk sejenak saya merasa menyesal telah memutuskan untuk tetap masuk kerja di derasnya hujan ini.Tiba-tiba perasaan egois saya timbul,”Ah…sebenarnya siapa yang mesti didahulukan?Orang hidup ataukah orang mati?Bukankah orang yang sudah meninggal masih bisa sabar seandainya dikubur nanti siang?”.

Akhirnya berhasil juga perjuangan saya untuk masuk kantor.Sampai di kantor,rasa malas saya ternyata tidak kunjung hilang.Alih-alih mengerjakan pekerjaan kantor yang tertunda pada hari kemarin,saya justru menulis artikel ini.Inilah artikel orang yang sedang malas.Tanpa rujukan,tanpa opini yang berarti dan tanpa hal-hal berguna yang ingin disampaikan.Di luar masih saja mendung.Saya membayangkan kalau saja saya masih berada di tempat tidur dengan merapatkan selimut.Ah…..alangkah nikmatnya.Rasa malas ini takkan kubiarkan pergi hari ini.

Monday, January 22, 2007

Keluh kesah....................

"Kita jangan berkeluh kesah atau saling menyalahkan,"
(Presiden SBY dalam peringatan Tahun Baru Islam di Mesjid Istiqlal)


Entah sejak kapan sebenarnya orang gemar berkeluh kesah.Konon katanya,di jaman moyang saya dulu,kehidupan tidak lazim di keluh kesahkan.Apapun bentuk kehidupan yang tergelar di dunia ini senantiasa diterima dengan ikhlas.Walaupun jelas-jelas kehidupan yang terjadi adalah kehidupan yang mungkin teramat keras bagi kehidupan sekarang.

Apalah yang mau di keluh kesahkan kalau semua orang mengalami kejadian serupa.Keseragaman dalam penderitaan membuat penderitaan itu bukan lagi sebagai sebuah siksaan.Di kala moyang saya dulu pakai celana dari bagor,orang-orang sekitar pun mengenakan pakaian serupa.Di kala beras tidak terbeli dan mesti makan kukusan hati batang pisang,orang-orang sekitar pun demikian adanya.Bahkan dalam hal penyakit pun bisa seragam,ketika koreng melanda,hampir setiap orang menderita koreng.Patheken begitulah istilahnya.Konon,ketika patheken itu melanda,orang-orang berpergian sembari membawa alat semacam kipas untuk pengusir lalat.Maklum saja,tubuh yang terkena koreng mengundang lalat untuk hinggap dan kalau dibiarkan akan semakin memperlambat koreng menuju proses penyembuhan.

Pendidikan bukanlah hal yang diutamakan.Bagaimana mau sekolah,lha wong jumlah sekolah yang ada sangat jarang.Maka tidak bersekolah pun bukanlah sebuah masalah serius,soalnya banyak orang-orang disekitar yang juga tidak bersekolah.Pernah suatu ketika ada pengurus Muhammadiyah yang rajin berdakwah di daerah saya.Pengurus Muhammadiyah yang oleh penduduk kampung dipanggil Pak Mantri itu begitu bersemangat memberi dorongan kepada beberapa anak muda untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.Jarang ada orang yang tertarik.Disamping keterbatasan biaya,jauhnya jarak ke sekolah menjadi penyebabnya.Maklum saja sekolah lanjutan biaanya ada di kota Yogyakarta.Sedangkan moyang saya tinggal di Bantul yang berjarak sekitar 25 km dari Yogyakarta.Ketika ada beberapa orang yang memang berkeinginan melanjutkan sekolah,maka perjalanan ke sekolah mesti ditempuh dengan jalan kaki sejauh 15 km ke stasiun Palbapang,Bantul untuk kemudian naik kereta api menuju kota Yogyakarta.Laku prihatin demikian orang jaman dahulu mengisahkan.

Kemajuan jaman dan bergeraknya arus modernisasi telah merubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat.Kalau jaman dahulu,makan kukusan hati batang pisang pun tidak dianggap sebagai sebuah masalah,maklum saja tingkat kesadaran masyarakat akan gizi belum tinggi.Namun di jaman sekarang,ketika negara telah memasuki kemajuan sedemikian rupa,ketika kesadaran masyarakat akan gizi semakin tinggi,maka kukusan hati batang pisang bukanlah makanan yang kayak konsumsi bagi manusia.Jelas,masyarakat lebih menyukai beras sebagai makanan pokok.Maka ketika beras tadi semakin mahal harganya,dan semakin tidak terjangkau oleh sebagian warga,keluh kesah pun berhamburan.Perbedaan antara yang mampu dan tidak mampu begitu telanjang di depan mata.Tidak ada lagi keseragaman penderitaan seperti tempo dulu.

Konon,kemiskinan relatif ukurannya.Kemiskinan berkaitan dengan seberapa banyak kebutuhan yang mesti dipenuhi.Suku Kubu di pedalaman Sumatra,mungkin tidak terlalu risau dengan istilah kemiskinan dan keterbatasan.Maklum saja tidak terlalu banyak kebutuhan yang mesti dipenuhinya.Makanan bisa berasal dari alam sekitarnya.Pendidikan bukan suatu kebutuhan pokok dan kehidupan keseharian yang tidak mesti ditandai keluarnya lembaran rupiah dari dalam dompet.

Namun kehidupan modern menuntut lain.Begitu banyak kebutuhan yang mesti dipenuhi dengan uang.Apalagi belakangan ini harga-harga kebutuhan pokok merangkak naik.Tiap ajaran baru mesti memeras otak untuk membagi uang bayaran sekolah yang setiap tahun semakin mahal.Belum lagi kalau menderita sakit,mungkin kita akan semakin bertambah sakit melihat biaya perawatan rumah sakit yang teramat mahal.Oleh karena itu Bapak Presiden yang terhormat,biarkanlah kami berkeluh kesah.Mungkin keluh kesah kami bukanlah orkestra yang merdu di telinga Bapak.Namun keluh kesah kami adalah penjaga semangat kami agar tak pantang menyerah.Keluh kesah kami adalah sarana melepaskan gundah di hati.Kemana lagi kami mesti berkeluh kesah kalau bukan kepada Bapak Presiden?Mestikah kami berkeluh kesah kepada Tuhan?Kami takut salah alamat,toh bukan Tuhan yang membuat tarif rumah sakit.

Friday, January 19, 2007

Badut-badut.................................

Ada dua cara untuk memperbaiki segala sesuatu yang dianggap rusak.Pertama adalah mencari dimana letak kerusakan itu sendiri untuk kemudian memperbaikinya.Yang kedua adalah membuang barang rusak tersebut dan menggantinya dengan yang baru dengan anggapan biaya memperbaiki barang rusak tersebut sama besarnya dengan biaya yang dikeluarkan untuk membelinya.Namun,seandainya barang itu rusak dan biaya memperbaiki ataupun mencari pengganti yang baru tidak tersedia,maka membiarkannya menjadi barang rongsokan adalah alternatif lain.

Dalam sebuah sistem kehidupan bernegara,para penganut nihilisme lebih menyukai untuk menumbangkan pemerintahan sah yang dianggap menyimpang dibandingkan dengan memperbaiki pemerintahan yang dianggap menderita komplikasi penyakit kronis.Masih segar dalam ingatan,bagaimana pemerintahan Orde Baru yang dianggap sudah lekat dengan berbagai penyakit berbahaya,dianggap tidak layak untuk diperbaiki.Maka tawaran pembentukan Komite Reformasi oleh Soeharto –presiden kala itu- dianggap angin lalu,bahkan beberapa tokoh yang ditunjuk oleh Soeharto untuk duduk di komite itu secara terang-terangan menolak untuk ikut bekerjasama.Pada waktu itu,satu-satunya jalan yang dianggap bisa memperbaiki keadaan adalah menurunkan Soeharto dan mengganti pemerintahan yang ada.Pada akhirnya,Soeharto memang mundur karena desakan demonstrasi yang tidak ada habisnya.Sebuah keputusan yang disambut dengan gembira,karena saat itulah diyakini Indonesia akan memasuki sebuah era baru yang membahagiakan.

Euforia itu hanya berlangsung sesaat.Indonesia memasuki masa yang kacau balau.Demonstrasi demi demonstrasi terjadi dimana-mana.Selalu saja ada hal-hal yang bisa dipertentangkan.Setiap ada demonstrasi yang anti terhadap kebijakan atau figure tertentu,maka keesokan akan ada demonstrasi tandingan yang mendukung kebijakan tersebut.Bahkan dua pihak yang pro dan kontra tadi bisa saja bertemu dalam sebuah kesempatan yang biasanya menjadi sebuah pertikaian terbuka.Pada saat itu disanyalir berkembang sebuah bisnis jasa penyedia massa untuk melakukan demonstrasi.

Tidak hanya itu saja,harga kebutuhan pokok melambung tinggi.Daya beli masyarakat menurun tajam.Bahkan tingginya harga kebutuhan pokok dibarengi dengan kelangkaan barang.Kalau sebelumnya kita hanya menyaksikan di televisi masyarakat dari negara miskin Afrika yang mengantri kebutuhan pokok,maka di era reformasi justru rakyat negara kitalah yang giliran membentuk barisan pengantri kebutuhan pokok.Maka pada saat itulah era reformasi diplesetkan menjadi era “repotnasi”.Anehnya itu semua tidak menjadikan mereka yang berperan dalam permainan politik di era itu menjadi menajamkan empatinya terhadap apa yang dialami masyarakat banyak.Yang terjadi adalah mereka lebih banyak bersitegang mempertahankan pendirian dan kepentingan masing-masing.Saat itu tontonan televisi penuh dengan tayangan akrobatik perseturuan yang membosankan.

Kalau kemudian di saat sekarang masih ada yang tega mewacanakan “cabut mandat” terhadap SBY- JK yang dapat diartikan sebagai upaya menurunkan pemerintahan SBY-JK,maka masihkan mendatangkan manfaat bagi rakyat banyak.Tak dapat dipungkiri bahwa pemerintahan SBY-JK memang tidak seperti yang diharapkan sebelumnya.Namun menurunkan SBY-JK di luar perundangan yang ada hanya akan menambah deratan kekacauan yang pada ujungnya akan menambah kesengsaraan rakyat banyak.Padahal SBY-JK yang merupakan hasil pemilihan umum secara langsung adalah hasil reformasi dari produk UU sebelumnya.

Pada dasarnya masyarakat awam sudah bosan dengan pertikaian untuk perebutan kekuasaan,entah dengan para pemain politik yang jago melakukan tekanan politik dengan melakukan demonstrasi-demonstrasi.Bagi mereka arena politik mungkin hanya semacam permainan.Permainan untuk mengukur kemampuan diri sejauh mana kekuatannya mampu mengubah konstelasi politik nasional.Mereka menebar wacana untuk menuju sesuatu yang entah,sesuatu yang mungkin mereka sendiri susah untuk mendeskripsikannya.Kalau hanya untuk menuju ke sesuatu yang tidak jelas,untuk apa mewacanakan dan mengajak semua orang dalam sebuah gerakan “cabut mandat”?.Apabila rakyat kecil telah banyak yang masuk jurang kesengsaraan akibat revolusi yang mereka korbankan,akankah mereka juga merasakan akibatnya?.Mereka tetap saja berdiri di bibir jurang dan kembali sibuk mewacanakan bahwa revolusi butuh pengorbanan.

Saya teringat sebuah lagi dari Swami tempo dahulu yang cocok menggambarkan sepak terjang mereka yang gemar bermain-main politik:

Dut….badut..badut..badut..jaman sekarang….
Mong…ngomong….ngomong..sembarangan….
Di televisi..di koran-koran…di dalam radio…


Bosan ah……………

Thursday, January 18, 2007

Ora ilok.......................

“Ora ilok” demikian kata yang sering diucapkan ibu saya ketika saya masih kecil.”Ora ilok diucapkan ibu saya untuk melarang saya melakukan sesuatu karena ibu menganggap apa yang akan saya lakukan itu sesuatu yang tidak pantas.

Sebagai “wong ndheso” yang hidup di ujung selatan Yogyakarta,masa kecil tidak banyak dilewati dengan acara piknik bersama keluarga layaknya keluarga modern saat ini.Maka acara yang ditunggu-tunggu adalah apabila diajak ibu pergi ke tempat orang hajatan.Maklum saja pada saat itu memang tidak banyak alternatif hiburan dan dengan ikut datang ke tempat orang hajatan sama juga dengan memanjakan lidah saya yang masih minim pengalaman dalam mencecap berbagai rasa makanan.Seperti biasa sebelum sampai ke tempat orang punya hajatan tadi,ibu saya akan selalu mengingatkan agar saya menghindari hal-hal yang oleh beliau disebut “ora ilok” tadi.Misalnya,saya dilarang merengek minta minuman apabila tuan rumah memang belum menghidangkan minuman.Atau juga dilarang mengambil hidangan secara berlebihan dan tentu saja makan secara perlahan tanpa banyak menimbulkan keributan.

“Ora ilok” sebagai ukuran kepantasan apakah sebuah hal layak dilakukan atau tidak akan berbeda antara ukuran satu orang dengan satu orang lainnya.Karena ukuran sebuah kepantasan masing-masing orang berbeda,maka menjadi sulit menentukan apakah sebuah hal pantas dilakukan atau tidak.Apalagi kalau untuk menilai sebuah kepantasan yang berlaku untuk diri sendiri,maka penilaian akan cenderung menjadi tidak obyektif.Terutama kalau dalam diri sudah sangat timbul keinginan untuk melakukan hal tersebut.

Dalam hal mode misalnya,terkadang seseorang menjadi susah menilai apakah mode yang yang dianut,entah itu potongan rambut atau gaya berpakaian,pantas untuk dikenakan atau tidak.Keinginan untuk tampil dalam mode masa kini membuat pertimbangan tentang kepantasan diri mengenai mode yang dikenakan menjadi diabaikan.Sehingga terkadang ditemukan orang bergaya dengan mode tertentu terasa dipaksakan dan tidak pas dalam pandangan.

Misalnya kalau kita lihat Julia Perez,artis lokal dengan ukuran dada diatas rata-rata,yang mengecat rambutnya dengan warna merah.Tentu semua orang sepakat kalau Julia Perez adalah artis yang cantik.Namun kalau kita perhatikan secara saksama,rambut merahnya gagal menyatu dalam satu kesatuan kecantikannya,sehingga terkesan rambut merah itu berupa tempelan semata.Lain misalnya dengan Maia Ahmad,salah seorang dari duo Ratu,meski sama-sama mengecat rambutnya bahkan dengan warna yang lebih bermacam-macam,namun warna – warni tadi berhasil masuk dalam satu kesatuan kecantikan Maia Ahmad.

Sama halnya kalau ukuran kepantasan itu berkaitan dengan keuntungan diri sendiri yang akan didapat,maka ukuran kepantasan itu akan dipaksakan untuk dipakai meski banyak pandangan orang yang menilai bahwa hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak pantas.Makanya para anggota DPRD pun tidak terdengar suaranya memprotes kebijakan pemerintah mengenai kenaikan tunjangan yang termuat dalam Keppres Nomor 37 tahun 2006.Lha wong namanya saja duit.Siapa orangnya yang tidak butuh duit.Tidak peduli bahwa kenaikan tunjangan tadi akan menggerogori APBD dan memakan jatah anggaran sektor lain.Tidak peduli apakah masih banyak rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan yang tidak mampu untuk sekedar membeli kebutuhan sehari-hari.Meski demikian tetap saja ukuran kepantasan itu dipakai.Pantas karena meski para anggota DPRD tersebut sering bolos dari ruang sidang,mereka telah memperjuangkan aspirasi rakyat.Merasa pantas karena meski sering tertidur di dalam sidang,toh mereka adalah penyambung lidah rakyat.Ah….tegaknya moralitas berpolitik menjelmakan mereka menjadi makhluk yang serba pantas melakukan apapun.

Kepantasan yang tak terukur terkecuali kita mau sedikit merendahkan hati dan mencoba menajamkan hati terhadap keadaan sekitar.Maka meskipun sebenarnya tidak pantas,saya memaksakan diri untuk merasa pantas memuat tulisan ini.Saya paksakan untuk menjadi pantas karena saya menjadi terhibur karenanya.Saya paksakan untuk menjadi pantas karena saya sedikit iri dengan gampangnya para politikus mengeruk uang negara secara legal berdasarkan UU.Ternyata,sebuah nilai kepantasan begitu egois adanya.

Tuesday, January 16, 2007

Wanita pun tidak malu melakukannya...................

Seorang teman mengatakan bahwa kalau dalam soal korupsi,penyalahgunaan wewenang,pungutan liar atau apapun namanya yang pada ujungnya adalah upaya untuk memperkaya diri,maka tidak ada perbedaan yang besar antara jamannya Orde Baru dan jaman Reformasi saat ini.Kalau dahulu di jaman Orde Baru,yang konon kebebasan di kekang dan model kepemimpinan berjalan layaknya raja-raja jawa tempo dulu,korupsi berjalan secara malu-malu dan sembunyi-sembunyi.Kini,di jaman kebebasan berekspresi dan slogan reformasi menyeluruh di segala bidang,korupsi justru mendapat tempat dan berjalan secara terbuka tanpa perlu malu untuk melakukannya.Dalam bahasa lain teman tadi mengatakan,kalau jaman dahulu pungli dilakukan di bawah meja,maka sekarang pungli sudah berada di atas meja.

Seorang teman lain meminta tolong saya untuk membantunya mengurus pemindahan lokasi kantor pelayanan pajak.Maklum saja,teman saya tadi memang masuk dalam kategori pengusaha golongan ekonomi benar-benar lemah.Maka begitu sewa kantor di kota dirasa membebani keuangannya,maka teman saya tadi ingin memindahkan kantor nya di daerah pinggiran.Dengan adanya domisili baru,maka kantor pelayanan pajak pun mesti ikut pindah menyesuaikan alamat baru.Penunjukan saya bukanlah karena saya piawai dalam hal tersebut,namun semata-mata karena setiap berangkat kerja saya memang melewati kantor pajak tersebut.Tentu saja dengan meminta tolong kepada saya teman saya tadi lebih bisa berhemat,setidaknya saya tidak bertarif seperti halnya biro jasa yang ada.

Semuanya berjalan lancar,tidak nampak adanya kesan untuk dipersulit.Bahkan setelah semua syarat-syarat administrasi saya ajukan,staff kantor pajak itu mengatakan bahwa minggu depan NPWP yang baru sudah bisa diambil.Saya merasa lega,birokrasi yang menjadi momok karena system yang berbelit-belit ternyata pada saat ini tidak bukan menjadi masalah lagi.Mungkin ini semua berkaitan dengan tekat Dirjen Pajak untuk menggenjot pendapatan negara dari sektor pajak.

Ternyata kelegaan saya hanya berjalan sebentar.Minggu depannya,ketika saya menyambangi kantor tersebut pada hari seperti yang dijanjikan,ternyata proses pendaftaran NPWP pada lokasi baru belum selesai.Seorang staff kantor pajak tersebut mengatakan bahwa berkas tersebut akan siap selepas istirahat siang yang berarti mengharuskan saya menunggu sekitar 4,5 jam untuk membawa berkas itu.Dari pada jemu menunggu,saya pun memutuskan untuk mengambil keesokan harinya,toh berkas tersebut belum terlalu diperlukan oleh perusahaan teman saya tadi.

Keesokan harinya saya kembali ke kantor pajak tersebut.Dan benar,ternyata NPWP yang baru sudah siap meskipun masih berupa surat keterangan terdaftar.Untuk penerbitan Surat Pengukuhan Kena Pajak,maka masih banyak syarat yang diperlukan -yang sayangnya tidak disebutkan ketika saya pertama kali datang mendaftarkan diri untuk pindah- yang salah satunya adalah survey dari Kantor Pajak ke domisili baru.Ketika semua persyaratan itu sudah saya catat,ibu staff Kantor Pajak tadi bertanya,
“Bapak direkturnya?”
“Bukan,Bu.Saya salah seorang staffnya”,jawab saya.
“Tidak ada titipan buat saya,Pak?”
Untuk sesaat saya tercekat dan tidak mampu menjawab,saya tidak menyangka mendapat pertanyaan seperti itu.Sungguh mengejutkan ibu itu akan menanyakan “titipan” sedemikian lugas.Apalagi ibu tadi nampak makmur dalam penampilan,bahkan beberapa rekannya memanggilnya dengan sebuah sebutan yang hanya bisa di dapat setelah seseorang pergi ke tanah suci.Ibu itu melanjutkan lagi pembicaraan,seolah apa yang dibicarakan bukan lagi sesuatu yang harus disembunyikan.
“Nanti akan saya sampaikan kepada Bapak Direktur di kantor,”jawab saya.
“Iya,pak.Biar prosesnya berjalan cepat”,kata ibu tadi.

Biasanya kaum laki-lakilah yang tidak merasa malu untuk menanyakan “titipan”.Selama beberapa tahun saya mengurusi penagihan kantor saya di sebuah BUMN.Biasanya dalam proses penagihan tersebut ada pengeluaran biaya untuk bagian terkait dengan tagihan tersebut.Banyak cara yang bisa dilakukan oleh orang-orang dalam bagian terkait untuk memperoleh uang untuk memperlancar atau “titipan” tadi.Mulai dari menghambat proses berjalannya berkas sampai meminta “titipan” tadi dengan terus terang.Namun belum pernah saya jumpai seorang perempuan begitu lugas meminta atau menanyakan “titipan” tanpa tedeng aling-aling dan tanpa perlu merasa malu lagi.

Benar kata teman saya diatas.Antara jaman Orde baru dan Orde reformasi perbedaan korupsi hanya terletak pada cara yang dipakai apakah secara sembunyi-sembunyi ataukah secara terus terang.Saya teringat dengan RA Kartini dan perjuangannya.Saya teringat emansipasi wanita.Kalau toh dalam bidang lain wanita belum banyak diberi peran dalam rangka kesetaraan gender,maka dalam hal korupsi kayaknya perempuan pun mulai ingin mendapatkan tempat dan peranannya.Apalagi kalau kesempatan itu sedemikian terbuka untuk melakukannya.Mungkin,kesetaraan gender dalam hal korupsi tidak pernah dibayangkan RA Kartini.

Friday, January 12, 2007

Angkringan...........

Barangkali ada yang tahu kenapa komunitas blogger Yogya menggunakan nama Angkringan?.Walaupun sebenarnya selain Angkringan di Yogya juga terdapat komunitas blogger lain yang bernaung dalam sebuah wadah bernama Cah Andong.

Angkringan adalah nama sebuah warung kaki lima yang berkembang di Yogya sekitar awal tahun 90-an.Sebenarnya warung ini tidak hanya terdapat di daerah Yogya.Daerah-daerah yang termasuk ex Karesidenan Solo pun banyak terdapat warung jenis ini.Pada awalnya para pendatang dari daerah Klatenlah yang mempopulerkan warung jenis ini.

Warung angkringan tidak beda jauh dengan warung kaki lima seperti yang kita lihat di Jakarta atau Tangerang.Menggunakan bangku kayu seperti halnya warung pecel lele,hanya saja bangku warung angkringan tidak sepanjang bangku warung pecel lele.Di bangku yang tidak seberapa luas itulah berbagai macam penganan diletakkan dalam suasana remang lampu minyak tanah .Di belakang hari temaram lampu minyak tanah ini banyak yang berganti menggunakan lampu listrik.Meski demikian kekhasan warung ini sebenarya tidak menjadi hilang.Ada banyak julukan untuk warung ini yaitu warung hik,warung koboi-dahulu sampai ada geng sepeda motor yang menamakan dirinya WKB yang merupakan singkatan warung koboi- dan warung sego kucing.

Sebenarnya tidak ada makanan yang bisa dianggap istimewa dari warung ini.Ketika saya mengenal pertama kali warung ini pun saya menganggapnya demikian.Bahkan saya daulu heran mengapa banyak orang menyukai warung ini.Makanan khas di warung ini adalah sego kucing.Disebut demikian karena sego (ind : nasi ) disajikan dalam bungkusan dengan porsi yang teramat sedikit seperti layaknya porsi untuk makanan kucing.Sego kucing biasanya disertai dengan sambel teri,sambel tempe ataupun berupa nasi goreng.Penganan lainnya adalah bermacam gorengan,sate usus,kepala ayam yang dibakar dengan bumbu kecap,ampela ati bakar dan cakar ayam – dahulu saya heran apa enaknya makan cakar ayam yang nota bene tidak berdaging-.Sedangkan minuman khasnya adalah minuman dengan aroma jahe,teh jahe,susu jahe ataupun minuman jahe tanpa campuran .Semuanya disajikan dalam keadaan panas.Sangat cocok diminum dalam suasana malam yang dingin.

Lama-lama karena seringnya teman mengajak saya mengunjungi warung ini,saya pun merasakan nikmatnya sajian warung ini.Daya tarik utama adalah warung ini murah bagi kalangan anak – anak kost dan daya tarik lainnya adalah warung ini nyaman dijadikan sarana nongkrong dan ngobrol.Warung ini lebih cocok sebagai warung untuk makanan selingan.Waktu yang nikmat untuk mengunjungi warung ini adalah selepas jam 10 malam.Pada jam -jam itu sehabis mata penat membaca buku-waktu itu saya masih anak kost yang duduk di bangku kuliah-perut memberi sinyal minta diisi.Dan biasanya teman-teman satu kost pun merasakan hal yang sama.Kami secara berombongan mengunjungi warung ini.Kami cukup lama di warung ini,saling berbincang dengan pengunjung lain hingga waktu menginjak dini hari.

Lama setelah saya tinggal di Tangerang,saya tidak bisa lagi mengunjungi warung angkringan.Kesempatan satu-satunya adalah ketika saya mudik di hari raya Lebaran.Mengunjungi warung ini merupakan agenda utama saya selain bersilautrahmi dengan para kerabat.Ada suasana yang selalu saya rindukan pada warung ini.Temaramnya lampu minyak tanah,suasana obrolan yang membaur dengan pengunjung lain dan berbagai penganan yang sudah lama tidak saya nikmati di kota ini.

Maka menemukan warung angkringan di kota Tangerang adalah merupakan hal yang mengejutkan bagi saya.Malam minggu kemarin,sepulang menghadiri pernikahan seorang sahabat di Bogor,kendaraan saya merambat pelan dalam kemacetan Tangerang pada malam minggu tanggal muda.Di Jalan M. Thoha Tangerang,ketika kesabaran saya sedang diuji oleh kemacetan yang ditimbulkan oleh angkot yang sedang ngetem,tiba-tiba mata tertumbuk pada sebuah warung tenda yang memasang tulisan dengan huruf besar-besar “Warung sego kucing”.Spontan saya berputar arah.Ketika kendaraan yang berlawanan arah menjadi kaget dengan gerakan saya dan pengendaranya berteriak,”Begooo!!!!!”,saya tidak berselera untuk membalasnya.

Bergegas saya menuju warung yang memasang spanduk tersebut.Benar rupanya dugaan saya,warung ini persis seperti warung angkringan di Yogya sana.Segera saya memesan teh jahe.Kemudian saya comot kepala ayam yang dibakar dengan lelehan bumbu kecoklatan yang manis.Manisnya pas dan bumbunya sangat terasa.2 potong kepala ayam,2 potong tahu bacem yang semuanya berbumbu manis sukses membangkitkan nostalgia saya.Segelas teh jahe menambah hangat perut saya.

Sayangnya saya tidak menemukan suasana yang pas untuk menikmati semua itu.Saya memandang sekeliling.Orang-orang nampak makan dengan cepat-cepat dan nampak tidak berselera untuk membuat sebuah obrolan.Mereka memang makan untuk memenuhi kewajiban seperti halnya minum obat,bukan dalam rangka “mat-matan” seperti halnya yang biasa saya lakukan di Yogya tempo dahulu.Ketika saya mencoba membangkitkan obrolan,pengunjung di sebelah saya menjawabnya dengan sepatah dua patah kata.Saya menjadi hilang selera melanjutkan obrolan.Apalagi keadaan di sekitar warung itu sangat tidak mendukung,jalanan bising dan riuh rendah dengan suara kendaraan bermotor.Maklum saja warung ini persis berada di bibir jalan.Setelah membayar sayapun beranjak pergi.”Lain kali mampir lagi,Mas”,kata pemilik warung.Saya pun mengangguk.Lain kali saya akan mampir lagi,di tengah malam.

Thursday, January 11, 2007

Kekalahan itu menyakitkan........................

Kekalahan selalu menyakitkan dan membutuhkan jiwa besar untuk menerimanya.Tidak gampang untuk menerima kekalahan dengan lapang dada.Sportifitas juga menyangkut bagaimana seseorang mematuhi aturan permainan yang berlaku.

Di babak 8 delapan besar kejuaraan sepak bola Piala Dunia 2006,pertandingan antara Australia vs Italia berjalan seru.Meski Australia tidak diperkuat pemain-pemain bintang,nyatanya Australia mampu mengimbangi permainan Italia.Ketika pertandingan hampir memasuki injury time,ketika hampir semua orang memperkirakan pertandingan akan berakhir draw dan memasuki perpanjangan waktu,tiba-tiba Fabio Grosso-bek sayap Italia- menggiring bola memasuki area kotak penalti Australia.Dengan serta merta seorang pemain belakang Australia mencegatnya.Pada saat itulah terjadi peristiwa yang tidak akan dilupakan oleh seluruh penduduk Australia.Fabio Grosso melompat dengan mengaitkan kakinya ke kaki pemain belakang Australia.Wasit menganggap itu pelanggaran keras di kotak penalti dan menunjuk titik putih memberikan tendangan penalti untuk Italia.Tentu saja pemain Australia melakukan protes karena Fabio Grosso melakukan diving dengan pura-pura jatuh.Lewat tayangan ulang di televisi jelas terlihat bahwa Fabio Grosso memang melakukan aksi tipuan.

Namun peraturan harus ditegakkan.Wasit sebagai otoritas pemegang keadilan di pertandingan itu harus dipatuhi.Dan ketika Fransesco Totti sukses mengeksekusi tendangan penalti,sejarah mencatat keberuntungan memang tidak berpihak ke Australia.Protes keras dilancarkan,Seluruh penduduk Australia mengutuk insiden itu.Maka ketika protes diajukan dan FIFA merespon dengan meminta maaf atas insiden tersebut,seorang pejabat PSSI-nya Australia mengatakan bahwa permintaan maaf itu tidak akan mengubah apapun.Australia sudah tersingkir dan Italia menjadi juara Piala Dunia 2006.

Sebagai seorang pengadil wasit ataupun juri,tidak luput dari kesalahan.Jauhnya jarak pandang dan respon otak untuk memberikan keputusan dengan cepat dan seketika peristiwa itu terjadi,membuat keputusan terkadang membuahkan kontroversi.Namun yang harus diingat adalah apapun bentuknya tim-tim bermain dalam kerangka aturan permainan itu sendiri dan keputusan wasit harus dipatuhi meskipun pahit.Protes yang dilancarkan adalah untuk memperbaiki system agar di kemudian hari ditemukan cara yang lebih baik untuk memperkuat pengamatan wasit.

Keputusan juri untuk sebuah kompetisi yang terukur mungkin lebih mudah.Kalau dalam sepakbola,tim yang lebih banyak membuat gol itulah yang menang.Lain lagi juri yang menilai sebuah kompetisi yang tak terukur.Festival film misalnya.Penilaian siapa sutradara terbaik,aktor terbaik dan lain-lain menjadi subyektif masing-masing juri.Dan seperti keputusan wasit dalam pertandingan Australia melawan Italia diatas,keputusan juri pada FFI 2006 pun mengejutkan banyak pihak.Ketika banyak kritikus film terpesona kepada film “Denias,Senandung diatas awan” dan “Berbagi Suami”,juri memutuskan film “Ekskul” sebagai pemenangnya.

Selalu ada ketidakpuasan dalam setiap keputusan.Namun ketidakpuasan dalam menyambut keputusan juri FFI 2006 ini sungguh luar biasa.Kompas tanggal 4 Januari 2006 memberitakan bahwa para pemenang Piala Citra FFI 2004 & 2006 ramai-ramai mengembalikan Piala Citra yang telah diraihnya sebagai protes terhadap keputusan juri tersebut.

Kebebasan mengeluarkan pendapat memang telah memasyarakat di negara kita.Demo dan gerakan massal dengan segala perniknya dianggap efektif untuk mengeluarkan pendapat.Mengeluarkan pendapat secara massal dianggap memiliki daya tawar kuat dan merupakan representasi pendapat kebanyakan orang.Maka kalau para insan film memilih mengembalikan Piala Citra secara beramai-ramai,tentu saja dalam kerangka memberikan tekanan yang efektif terhadap para juri.Meskipun tekanan yang diberikan dengan cara yang aneh dan terkesan merendahkan FFI yang sebenarnya merupakan pestanya insan film sendiri.Aneh karena dilakukan belakangan setelah FFI 2006 sudah lama berakhir dan merendahkan FFI itu sendiri karena mengembalikan Piala Citra yang telah diraih.

Seandainya protes diajukan bukan dalam kerangka menjatuhkan sesama insan film tapi untuk perbaikan penyelenggaraan,barangkali bukan begitu caranya.Saatnya kita memasuki periode dimana masing-masing orang merasa paling benar sendiri.Setelah mata kita menjadi lelah oleh pro kontra poligami yang masing-masing seolah memegang klaim kebenaran,maka insan film pun merasa lebih benar dan lebih bisa menilai seperti apa sebuah film yang lebih layak menjadi pemenang.Memang sulit untuk menerima sebuah kekalahan.Ketika para insan film itu menyebut gerakan mereka sebagai kesadaran politik,mungkin mereka meniru keadaan di sekitar,kesadaran berpolitik dalam ketidak sadaran.Akibatnya yang ada hanyalah kesemrawutan tanpa hasil dan tanpa tujuan bermanfaat.